Kelas : 3EB19
NPM : 22211117
·
Ironi
negara maritim yang mengandalkan peran asing
Merdeka.com - Sebagai negara kepulauan, wilayah laut
Indonesia jauh lebih besar dari wilayah daratan. Luas laut Indonesia tiga per
empat lebih besar dari luas daratan atau mencapai 5,8 juta km persegi. Tidak
hanya itu, Indonesia juga memiliki garis pantai terpanjang keempat di dunia.
Panjang garis pantai Indonesia mencapai 104.000 km.Tidak berhenti di situ, jauh di dasar laut Indonesia, tersimpan keanekaragaman hayati yang cukup besar. Potensi lestari sumber daya perikanan tangkap laut Indonesia mencapai sekitar 6,5 juta ton/tahun dengan tingkat pemanfaatan mencapai 5,71 juta ton atau sekitar 77,38 persen di tahun 2011.
Kondisi tersebut sesungguhnya menggambarkan kekuatan ekonomi Indonesia yang terletak di laut. Data yang lebih mengejutkan, nilai ikan Indonesia disebut mencapai 7 kali nilai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang saat ini sekitar Rp 1.500 triliun.
Namun disayangkan, dengan predikat negara maritim yang mempunyai kekayaan hayati laut terbesar di dunia, Indonesia masih mengandalkan peran asing. Salah satunya terlihat dari impor produk perikanan yang seharusnya bisa diperoleh dari dalam negeri.
"SDM ikan kita 7 kali APBN kita kalau dikelola. Tapi impor masih besar sekali. Itu ada ikan pindang, ikan layang. Di sini juga banyak," ucap Presiden Direktur PT Perikanan Nusantara Abdussalam Konstituanto di kantornya, Jakarta, Kamis (31/10).
Abdussalam mengaku prihatin dengan kebijakan pemerintah yang memasukkan ikan impor dengan alasan lebih murah. Tidak hanya dia yang kecewa dengan derasnya impor ikan, Direktur Jenderal Pemasaran dan Pengolahan Hasil Perikanan (P2HP) Kementerian Kelautan dan Perikanan, Saut P Hutagalung juga pernah menyampaikan hal serupa. Dia menyayangkan, Indonesia sebagai negara maritim, masih bergantung pada impor produk ikan.
Kondisi dilematis, menurutnya, terjadi ketika industri pengolahan membutuhkan pasokan setiap hari, sementara bahan baku tak bisa tersedia setiap hari. Terlebih saat gelombang besar dan cuaca tak menentu.
Akibatnya, Indonesia masih mengimpor hasil olahan ikan dari negara tetangga. Contohnya, sepanjang 2012 lalu impor fillet patin mencapai 700 ton per bulan dari Thailand. Padahal, di dalam negeri sudah ada industri fillet patin dengan kapasitas 350 ton per bulan.
"Di dalam negeri fillet patin harganya Rp 36.000 per kg, sedangkan kalau produk impor hanya Rp 28.000 per kg. Memang saat ini baru ada 6 pabrik pengolahan fillet patin," ujarnya beberapa waktu lalu.
Pemerintah harus berpegang pada UU 19 tahun 2013 yang mengamanatkan perlindungan terhadap nelayan dan pembudidaya ikan sekalipun kebijakan impor diambil. Seharusnya, dengan potensi kekayaan laut yang besar, Indonesia bisa menjadi raja ekspor kelautan dan perikanan. Namun kenyataannya berbeda. Indonesia baru sebatas mengekspor ikan-ikan kecil.
Jenis ikan kecil yang diekspor PT Perikanan Nusantara antara lain ikan kakap, ikan kembung, serta tuna dan ikan tongkol. Negara tujuan ekspor mulai dari Taiwan, Thailand, Vietnam, Korea, China, Eropa seperti Jerman Timur, Jerman Barat serta Rusia.
Tidak hanya ikan, Indonesia juga cukup rajin mengimpor garam. Peraturan Menteri Perdagangan No.20/M-DAG/PER/9/2005 Jo Permendag 44/M-DAG/PER/10/2007 dikeluarkan dengan alasan untuk memenuhi tingginya kebutuhan garam konsumsi dan garam industri di dalam negeri, maka pemerintah mengambil kebijakan impor.
Impor garam seolah mengaburkan potensi kekayaan alam dari garis pantai Indonesia yang merupakan garis pantai terpanjang keempat di dunia. Sejak tahun 2007, produksi garam nasional tidak lagi menjadi ujung tombak, dan terpaksa mengandalkan pasokan garam dari negara lain seperti India dan Australia.
Menteri Kelautan dan Perikanan, Sharif Cicip Sutardjo, pernah membantah anggapan yang menyebutkan Indonesia rajin impor ikan. Menurutnya, impor yang dilakukan Indonesia masih dalam batas wajar. Dia menyebut, ekspor produk kelautan dari Tanah Air secara ekonomis masih lebih besar. Karenanya, adanya pendatangan produk perikanan dari luar negeri ke negara maritim ini baginya tak perlu dibesar-besarkan.
"Siapa bilang banyak impor, pada 2012 kita mengekspor USD 4 miliar, kita hanya impor USD 380 juta, tidak ada 10 persennya," kata Sharif di JCC, Jakarta, Kamis (17/10).
Untuk produk lain, seperti tuna, udang dan rumput laut, politikus Golkar ini mengklaim Indonesia justru menjadi salah satu eksportir terbesar dunia. Karenanya, dia yakin, dari segi neraca perdagangan, Indonesia masih diuntungkan lewat produk ikan dan kelautan.
"Produksi kelautan kita tahun lalu mencapai 15,9 juta ton, itu sudah termasuk rumput laut. Pasar kita besar," cetusnya.
Meski demikian Sharif membenarkan bahwa industri pengolahan ikan, membutuhkan pasokan dari luar negeri. Apalagi konsumsi produk perikanan nasional tahun lalu mencapai 8 juta ton. Dia mengatakan impor tak dilarang, asal kuantitas dan kualitasnya dijaga. "Kita akan menjaga impor, standarnya itu harus standar nasional," tutupnya.
Analisis :
Pemerintah harus mengembangkan SDM dan mengelola
BUMN perikanan dan kelautan secara baik, karena di Indonesia ini adalah negara
maritim , potensi alam kita sangat melimpah. Kalau dikelola dengan baik dan
benar, pasti akan menguntungkan Negara dan bangsa ini. Sehingga tingkat ekspor
Negara kita mengalami kenaikan yang pesat dibandingkan tingkat impornya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar